Kalau kita bicara tentang waktu, ia adalah entitas yang vital dalam hidup, tetapi seringkali terselip, tidak nampak atau sulit didefinisikan. Terkadang kita merasa waktu sebagai barang yang terbatas & langka (scarce) hingga terasa tidak cukup. Ia juga tergantung pada persepsi kita, karena sering pula merasa waktu sangat lambat berjalan, jika berada pada keadaan menunggu atau saat-saat ada ketidak-nyamanan. Ada juga beberapa anggapan atas waktu, yang ingin saya ulas di artikel ini. Harapannya adalah kita dapat kenal tentang waktu lebih dalam, sehingga bisa 'berteman' dengannya.
Waktu sebagai uang
Ucapan atau persepsi time is money sering kita temui dalam kehidupan sehari-hari. Saya pernah menuliskan microblog yang menggunakan kerangka ini untuk menghargai & mengkuantifikasi waktu yang kita miliki, agar dapat mengetahui kegiatan apa yang perlu diprioritaskan dan yang paling memiliki leverage.
Sebaliknya, di artikel ini saya ingin mengulas bahwa waktu itu tidak bisa disamakan dengan uang. Mengapa? Karena ia tidak bisa dengan mudah ditransfer, diberikan kepada orang lain, ditabung atau bahkan diinvestasikan. Mungkin teman-teman pernah mendengar film sci-fi 'In Time' (2011) yang memiliki background setting dimana manusia tidak beranjak tua setelah umur 25 tahun dan waktu dapat diperjual belikan. Yang kaya menjadi immortal/hidup kekal, sedangkan yang miskin mati muda. Meski eksekusinya kurang memuaskan bagi saya, tetapi film ini dapat memberi penggambaran bagaimana jika kita menganggap uang sebagai komoditas, atau jika disamakan dengan uang.
Jika kita mundur sejenak, bagaimana persepsi ini bisa muncul? Jawaban paling sederhana bisa kita tarik dari 'pekerjaan & upah'. Secara mendasar, kita bekerja adalah 'menukar' tenaga, waktu, kemampuan/keahlian kita dengan upah. Dari situ waktu disederhanakan sebagai transaksi penukar uang. Tidak salah, tetapi kurang lengkap. Tidak semua waktu kita perlu & bisa ditukar dengan uang. Waktu tidur, istirahat, interaksi sosial, makan-minum tidak bisa dilompati dan berharap dapat serta merta ditukar segepok rupiah. Waktu yang dapat kita tukar dengan uang itu terbatas. Menerima & mengakui batasan ini bisa jadi tidak mudah. Mengapa?
Time & Human's Bias
Otak manusia memiliki kemampuan untuk membayangkan objek-objek & episode-episode yang tidak nyata dalam realita. Kemampuan inilah yang membuat manusia dapat berpikir tentang masa depan. Terkadang, memikirkan masa depan bisa sangat menyenangkan hingga terkadang kita memilih untuk memikirkannya saja, dibanding berusaha mewujudkannya.
Hal ini kemudian berkaitan dengan bagaimana manusia merasakan kebahagiaan. Ketika kita sudah membayangkan masa depan dengan sangat baik, kita cenderung meng-overestimate kemungkinan hal baik akan benar-benar terjadi. Penelitian menunjukkan bahwa hal ini berpengaruh pada bagaimana kita seringkali salah dalam memperkirakan & membayangkan masa depan. Bahkan kesalahan yang dibuat manusia atas perkiraan masa depannya sendiri itu sistematik, teratur & pasti.1Dapat dibayangkan ketika estimasi yang sering salah ini menjadi standar kebahagiaan kita. Ketika kenyataan tidak mencapai standar tersebut, maka kita mudah merasa tidak bahagia, ingin menyerah atau kesal.
Manusia juga terlahir dengan keinginan untuk mengontrol sesuatu. Sejak bayi, perilaku ini sudah nampak dengan keinginan untuk mengubah sesuatu (memukul-mukul mainan), mempengaruhi sesuatu & making things happen. Hal ini adalah ekspresi untuk mengontrol hal yang ada di sekitarnya.
Dari 2 hal ini, jika kita proyeksikan pada subjek waktu, maka banyak 'tabrakan' yang muncul. Waktu adalah hal yang sulit dikontrol (padahal manusia ingin sekali mengontrol) dan kita ternyata tidak cukup baik dalam memperkirakan masa depan. Waktu yang terbatas, yang saya sebutkan terkait dengan uang di atas, adalah hal yang sulit kita pahami karena ia bertentangan dengan sifat alami kita. Memahami kedua tendensi ini dapat membantu mengawali perjalanan kita dalam berkawan dengan waktu. Saya sendiri kemudian berusaha mem-visualisasi-kan keterbatasan waktu itu dalam bentuk gambar. Dari sini perlahan pikiran saya mulai beranjak, jika garis finish itu serupa kotak-kotak ini, maka apa yang akan saya lakukan di waktu yang masih saya punyai?
Epilog
Perjalanan saya dalam memahami waktu masih baru dimulai. Tetapi tujuannya jelas, ‘berkawan’ dengannya. Selayaknya pertemanan, maka saya ingin mengerti, tidak menjadikannya musuh & memiliki hubungan yang baik. Apakah kalian memiliki pertanyaan atau rasa penasaran yang serupa, terhadap waktu?
Jika tertarik dengan bagaimana ‘kesalahan’ manusia dalam nexting, memperkirakan masa depan, bisa lihat Stumbling on Happiness by Daniel Gilbert. Dalam buku ini dijelaskan dengan lengkap.