Sudah belajar memulai, sudah atur fokus agar tidak distracted, tapi bagaimana kalau memang merasa sudah hilang semangat? Beberapa saat terakhir, ini yang saya rasakan. Agar tidak berkutat terlalu lama dengan perasaan ini, saya mengakui saja bahwa terdapat penurunan semangat, keengganan untuk menulis atau berkarya.
Saat itu, ada pertanyaan yang terngiang: mengapa hal ini terjadi? Apakah aku sudah tidak punya niatan untuk berkreasi? Mengapa saya tertarik dengan hal lain sekarang? Ketika membaca pertanyaan ini beberapa kali, baru saya tersadar bahwa pikiran saya melompat terlalu jauh, jumping to conclusion. Roy Baumeister & John Tierney dalam bukunya Willpower menyimpulkan bahwa:
“People fight desires all day long...
Desire turned out to be the norm, not the exception”1
Maka sebenarnya keinginan & ketertarikan pada hal yang lain seperti apa yang saya rasakan itu wajar-wajar saja & juga dihadapi orang lain. Setelahnya saya cek lagi di jurnal pribadi, apa-apa saja amunisi yang bisa saya pergunakan untuk memungut kembali semangat saya yang tercecer.
Tidur adalah hal yang pertama saya prioritaskan untuk dilakukan jika sedang tidak semangat. Karena acap kali saya salah mengartikan sinyal. Bukan semangatnya yang turun, tapi badannya yang butuh istirahat. Mari kita jujur, hustle culture, grinding juga kerja keras - kerja cerdas, terus menerus digaungkan bahkan sampai menomor-sekiankan istirahat. Saya sering kali membuka akun Instagram The Nap Ministry untuk menantang pemikiran tentang overwork. Jika kamu terkadang merasa bersalah ketika rebahan atau sekali-sekali tidur siang, bisa jadi akun ini cocok untukmu.
Yang kedua adalah menonton variety show Korea. Mengapa variety show dan bukan serial? Karena terlalu panjang dan mengikat bagi saya. Variety show bisa ditonton secara lepas saja. Ada 2 tipe yang saya sukai: talk show comedic, seperti Knowing Brothers karena becandaannya yang menertawakan diri sendiri (self-deprecating) & berproses menerimanya. Banyak anggota tetap dari show ini sudah pernah melewati 'tragedi' untuk standar dunia hiburan Korea seperti Lee Soo Geun yang terjerat perjudian atau Lee Sangmin yang pernah bangkrut. Candaan di dalamnya bisa mulai dari menertawakan perceraian, pernikahan, kebiasaan merokok, masculinity, hingga seksualitas. Tak banyak acara yang ‘berani’ & menertawakan diri sendiri sejauh Knowing Brothers. Tapi pesannya selalu konsisten: “It’s okay, no matter how worse is your condition now, you’ll get through it”.
Tipe selanjutnya adalah bentuk kolaborasi musik seperti The Call, Begin Again, Kiss, Superband (nyalakan subtitle untuk mengetahui arti lirik lagunya yang juga puitis). Selain senang mengetahui bagaimana proses kreatif yang terjadi, saya biasa mengetahui seniman-seniman baru di dalamnya. Kalau bukan dari Begin Again barangkali saya tidak tahu penyanyi seperti Hareem atau Lee Sora, suara yang bisa mengisi penuh tanki jiwa melankolis secara ajaib.
Tiap hari kerja saya berjalan kaki untuk menjemput anak pulang sekolah, tetapi ketika perlu memupuk semangat saya memilih berangkat lebih awal & mengambil rute yang lebih jauh. Berjalan dan membiarkan pikiran mengembara, melihat kendaraan lalu lalang dapat menjernihkan benak.
Pengingat, memento juga hal yang dapat dimanfaatkan untuk mengingat rasa ketika semangat itu menggebu. Foto di atas menunjukkan tulisan tangan David Perell, role model saya dalam menulis. Membuka kembali tulisan yang saya buat sendiri, untuk mengingatkan bagaimana berapi-apinya kala menulis catatan kecil itu. Catatan yang dibuat memang untuk saat seperti ini & untuk menjaga arah.
Epilog
Di suatu sore saat saya masih bekerja untuk Project Tobong di galeri iCan, Suryodiningratan Yogyakarta (sekarang sudah tutup permanen) tahun 2012, terdapat seorang ibu WNA berkulit putih yang sudah berumur sedang melihat-lihat foto yang sedang dipajang. Beliau terlihat mencolok karena mengenakan topi anyaman berdaun lebar berwarna hijau stabilo. Secara spontan saya memuji topinya. Dari mengobrol saya mengetahui beliau berumur lebih dari 60 tahun dan sedang dalam perjalanan mengelilingi dunia. Beliau menyebutkan berapa negara yang telah ia singgahi.
Saya (S): Wow, I envy you!
Ibu (I): What for?
S: For your trip around the world, of course. I don’t think I have money to do that.
I: I envy your youth.
Di titik itu saya menyadari, bahwa waktu yang dimiliki adalah hal yang sangat berharga. Cerita ibu bertopi anyaman itu selalu berhasil memantik semangat yang berlipat: bahwa usia muda memang kita dapatkan sewajarnya, tapi bagaimana memanfaatkan tiap detik yang ada, itu lain perkara.
Selama masih punya waktu, maka semangat itu selalu ada. Ia tidak hilang, hanya perlu dipungut lagi.
Deep Work by Cal Newport, 2016 hal. 99