Setelah membahas The Sovereign Individual 3 minggu yang lalu, kali ini kita akan mengakhiri perjalanan dengan pertanyaan pamungkas: bagaimana cara untuk menjadi The Sovereign Individual? Jawaban yang saya tawarkan adalah tajuk artikel ini, menjadi The Permissionless Disciple. Term ini menggabungkan 2 konsep proses kreatif yang dimungkinkan terjadi dengan adanya Information Revolution.
Jack Butcher & The Permissionless Apprenticeship
Apa kalian pernah mendengar nama Jack Butcher? Jika belum, bisa jadi kalian sudah pernah menemukan karyanya dengan tajuk Visualize Value di jagad social media. Butcher membagikan “resep” untuk siapa saja yang ingin mencuri perhatian & merancang kesempatan di dunia maya. Caranya:
Jadi anak magang untuk figur/brand/organisasi yang kalian ingin curi perhatiannya, tanpa perlu mendaftar dan mendapat ijin dari siapapun. Just do.
Tulis job descriptionmu sendiri. Video editor? Edit potongan speech atau pesan terbaik dari mereka. Designer/illustrator? Ilustrasikan gagasan mereka. Hal ini dibuktikan sendiri oleh Jack Butcher dengan Visualize Value yang mengilustrasikan kutipan-kutipan dari orang-orang yang ia kagumi.
Kemungkinan terbaik, mereka akan memberi acknowledgement yang otomatis akan menjadi “marketing gratisan” untukmu, menaruh namamu di depan audiens mereka atau bahkan memberimu pekerjaan tersebut. Kemungkinan terburuk? Kalian dapat pelajaran & pengalaman yang dapat menambah value pribadi kalian sendiri.
Saya pribadi merasa konsep ini benar adanya & memiliki potential outcome yang positif, tapi masih ada yang bisa dilakukan lagi, yaitu..
Reaching Out & Always Being a Disciple
Dalam proses belajar di institusi pendidikan formal, kita biasa mengikuti silabus atau kurikulum yang disediakan, menjalaninya dalam rentang waktu tertentu, lalu menghadapi tes untuk menguji pemahaman & kompetensi yang sudah dipelajari. Bagaimana jika ingin mencapai The Sovereign Individual, yang menurut Dale & Rees mampu mengedukasi diri mereka sendiri?
Tentu kita bisa menentukan kurikulum kita sendiri, tapi tidak berhenti di sini
Mengutip prinsip John Gould1 dalam menulis “Write with the door closed, rewrite with the door open”. Kerjakan, pelajari, lakukan itu secara fokus, lalu tunjukkan pada orang lain, utamanya yang telah memiliki kompetensi tersebut. Setelah mendapatkan feedback, respon, rework it.
Saya pribadi sempat gamang, sampai di tahap mana saya harus “menutup pintu”? Sayangnya pertanyaan ini menyebabkan rasa perfeksionis itu muncul dan menunda-nunda untuk menunjukkannya kepada orang lain. Saat ini saya berkomitmen untuk tidak menunggu sampai 100%, tetapi berpatokan di angka 70%-80% completion untuk kemudian mencoba reach out & menerima saran dari orang lain yang lebih mampu dari saya.
Dengan menetapkan kriteria dan alur seperti ini, akan “memaksa” kita untuk selalu menjadi murid bahkan ketika masih mencari atau belum mendapatkan guru.
Mengapa saya memilih menggunakan term always being a disciple? Karena dengan kesadaran “menjadi murid”, maka mindset yang terbentuk adalah growth mindset, menyediakan ruang untuk berbuat salah & memperbaikinya, bahkan ketika belum memiliki guru/mentor. Pertanyaan selanjutnya, bagaimana cara untuk reach out? Saya sudah menuliskannya dengan singkat di Instagram post ini. Sila praktekkan untuk dapat memaksimalkan peluang reaching out kepada orang-orang yang lebih mumpuni.
Epilog
Beberapa sosok yang saya perhatikan secara terbuka mengungkapkan & menggunakan prinsip The Sovereign Individual selain Jack Butcher adalah David Perell dan Tiago Forte. Ketiganya mengaplikasikannya dalam membangun karya:
Free to invent their own work & realize the full benefit of their own productivity. Butcher dengan konsep The Permissionless Apprenticeship; Perell dengan Personal Monopoly; Forte dengan PARA System.
Memaksimalkan fungsi leverage dari teknologi. Butcher lewat Build Once, Sell Twice; Perell via Write of Passage; Tiago Forte dengan Building a Second Brain.
Barangkali setelah membaca trilogi artikel ini, teman-teman bisa mendapat perspektif untuk menghadapi perubahan jaman ini. Atau malah, kamu yang jadi the next Sovereign Individual? 😉
Dikutip dari On Writing by Stephen King, 2000.