Akhir tahun, waktunya refleksi setahun ke belakang & bikin resolusi untuk tahun depan. Tetapi sebagian besar orang mengaku kesulitan untuk melakukan refleksi dalam rentang 1 tahun dan kurang menyadari adanya recency bias, bias yang muncul karena keterbatasan memori kita sehingga yang bisa diingat hanya hal-hal yang baru saja terjadi. Belum lagi ketika resolusi sudah ditetapkan, muncul rasa malas atau enggan sehingga tidak tercapai. Setelah melakoninya sendiri, saya menyadari ada 3 bagian yang jadi komponen penting proses ini: refleksi, resolusi & resistensi.
Refleksi
Langkah pertama yang muncul dalam berbagai nasihat untuk memecahkan masalah adalah being aware. Baik dalam membiarkan emosi kita mengalir saat memprosesnya, mengetahui perbedaan antara marah & marah-marah, memahami antara fokus & atensi, semuanya dimulai dengan awareness. Begitu juga ketika menentukan resolusi, kita perlu untuk sadar terlebih dahulu dengan apa yang telah kita jalani & lalui selama ini. Jadi bagaimana caranya untuk bisa menjadi sadar-siap sepanjang waktu?
Jawaban ideal yang biasa ditawarkan adalah dengan journaling, mencatat apa yang kita lalui dengan rajin & konsisten. Sayang, tidak semua orang mampu atau betah melakukannya. Kalau mau lebih jeli, sebenarnya ada alat & perangkat lain yang menyimpan memori apa saja yang kita lakukan selama setahun terakhir meski bukan berbentuk jurnal atau catatan pribadi. Inbox email, feed Instagram, cuitan Twitter, jadwal di Google Calendar, data jumlah jarak di Strava, percakapan di WhatsApp atau caller list di gawai kita. Meski tidak ideal, alat-alat ini dapat memberi kita cuplikan peristiwa yang telah kita lewati.
Setelah mengumpulkan & mengamati remah-remah memori apa saja yang kita lalui, maka proses refleksi akan menjadi lebih mudah. Cara yang sederhana adalah dengan mengelompokkannya ke dalam kategori seperti yang dilakukan Devon di artikel ini. Bisa juga menentukan pengalaman mana yang baik dan perlu dilanjutkan tahun depan, juga yang buruk dan perlu dihilangkan. Dari sini kita bisa melangkah ke tahap selanjutnya, yaitu resolusi.
Resolusi
Ketika menentukan prioritas, kita bisa meletakkannya dalam kuadran/matrix Eisenhower seperti di bawah ini1. Dari keempatnya, kuadran mana yang paling sering luput atau tidak kita realisasikan?
Kuadran 2. Seberapa sering kalian menunda hal yang kalian tahu itu penting, tetapi ujung-ujungnya tidak jadi dilakukan? Karena sifatnya yang tidak mendesak, subjek penting di kuadran 2 ini berkurang derajat ‘rasa perlu’nya (lessen the important).
Khe Hy dalam metode $10k-nya2 menyarankan untuk membagi apa yang perlu kita lakukan dalam hidup ke dalam 2 area: Domain & Project. Domain adalah perihal yang tidak ada titik selesainya, akan selalu berlangsung dan ada standar minimum. Contoh: kesehatan, keluarga, keuangan, relasi dekat. Project adalah perihal yang punya batas waktu dan output yang jelas. Contoh: rencana liburan sekolah, ikut coding course.
Jika kita kembali ke kuadran Eisenhower, kuadran 2 seringkali jatuh di area Domain. Menyadari hal ini, kita bisa tahu bahwa tidak ada titik selesai, perlu dilakukan terus menerus dan ada standar minimum. Sounds like a habit building, isn’t it?
Kerap kali banyak resolusi yang dibuat berbentuk Project saja, dan bukan Domain. Contoh: turun berat badan 17 kg tahun ini, baca 48 buku, dst. Ketika hanya berfokus pada Project, bisa jadi kita menelantarkan hal yang penting. Padahal kita tahu betapa besar pengaruh habit dalam hidup, termasuk mempengaruhi deliverability dari project yang ingin kita wujudkan.
Pertanyaannya: apakah kita harus memilih antara Project dan Domain? Tidak juga, karena sifat yang berbeda dan keduanya pasti ada di dalam hidup. Tetapi dengan menyadari karakter masing-masing, kita bisa menyelaraskan dan mengatur agar tidak bertabrakan satu sama lain. Contohnya jika memiliki resolusi berdasarkan Domain untuk rutin berolahraga 3 kali seminggu @ 30 menit, kemudian mendukungnya dengan sistem (mengosongkan jadwal berulang/recurring di agenda). Di saat yang sama, karena sadar bahwa berkomitmen untuk rutin berolahraga dapat menyita tenaga fisik, maka sewajarnya kita tidak membuat resolusi berdasarkan Project yang menguras tenaga fisik pula.
Jadwal sudah ditentukan, sistem sudah dipersiapkan, tetapi rasa enggan dan malas biasa menghampiri hingga resolusi gagal tercapai. Apa sebabnya?
Resistensi
Craving
Di dalam Atomic Habit, James Clear menyebutkan istilah craving, perasaan yang membuat seseorang mau melakukan sesuatu, alasan intrinsik atau raison d’etre. Sebuah resolusi bisa jadi sekadar resolusi jika kita tidak betul-betul menginginkan efek dari hal tersebut. Mencanangkan hidup sehat & menjadwalkan untuk rutin berolahraga tapi kemudian cepat off the track. Jangan-jangan memang tidak begitu menginginkan efek sehat dari berolahraga? Barangkali sebenarnya sudah merasa cukup dengan rasa sehat yang dimiliki sekarang. Menanyakan kepada diri sendiri, apa yang sebenarnya diinginkan, dapat membuat kadar motivasi sustainable & resolusi pun dapat dilaksanakan secara berkesinambungan.
The cost of avoidance
Dalam hidup, terdapat beberapa kewajiban yang perlu dilakukan baik secara administratif maupun fisik. Jika tidak bersifat mendesak, maka hal-hal ini pasti jatuh di kuadran 2. Kewajiban yang berkaitan dengan pihak lain, terkadang memiliki sanksi, sehingga kita lebih mudah aware. Misalnya, membayar pajak kendaraan bermotor, mengurus akte kelahiran anak. Sanksi ini yang disebut the cost of avoidance.
Apa hubungannya dengan resolusi? Untuk hal yang kurang terlihat atau tidak ada sanksi, terkadang kita tidak sadar ‘harga’ yang perlu ‘dibayar’ di kemudian hari jika kewajiban ini tidak dilakukan. Hal ini membuat kita tidak tergerak untuk melaksanakan resolusi tersebut. Jika memang mencanangkan resolusi yang memiliki the cost of avoidance, maka menyadari atau menuliskannya akan membantu kita selalu aware atas konsekuensinya.
Fear of success
Dalam Do The Work, Steven Pressfield menyebutkan bahwa resistensi, keengganan untuk melakukan sesuatu sesuai yang kita rencanakan sebelumnya berakar dari ketakutan atas kesuksesan. Bagaimana mungkin? Apa ada orang yang tidak mau sukses? Mungkin itu pertanyaan yang terlintas pertama kali saat membaca ide ini. Betul bahwa mayoritas orang ingin sukses, tetapi tidak semua orang mampu & mau menghadapi hal-hal yang menyertai kesuksesan: porsi waktu, tenaga, skill, kesulitan, tanggung jawab yang lebih banyak atau lebih sulit.
Artikel ini dibuat setelah saya mengikuti beberapa conducted annual review3 dan mempelajari beberapa artikel4 & template5 untuk melakukan refleksi tahunan, sebelum kemudian merancang resolusi untuk tahun selanjutnya. Rasanya sayang jika apa yang saya pelajari ini berhenti di sini. Jika kalian tertarik untuk melakukan refleksi akhir tahun, saya akan conducting satu sesi annual review di hari Rabu, 29 Desember 2021 19.30 WIB. Kalian akan mendapatkan template dan kita akan melakukan annual review bersama-sama dengan teknik yang memungkinkan untuk melakukannya dalam waktu 1-1.5 jam saja. Silakan daftar untuk turut bergabung!
https://www.techtello.com/eisenhower-productivity-matrix/
https://radreads.co/10k-task-management/
Year in Review Session - conducted by Anne-Laure Le Cunff (Ness Labs) & Ultimate Annual Review Workshop 2021 - conducted by Khe Hy (RadReads)
8,760 Hours: How to get the most out of next year by Alex Vermeer
Anthony Gustin Annual Review by dr. Anthony Gustin & Workbook Meracik Hidup by followyourflow.id